Menjawab Tantangan Riil Ekonomi Umat



SETIAP akhir tahun dan menjelang awal tahun, selalu membawa semangat dan tantangan tersendiri. Evaluasi dan optimisme, selalu mewarnai dinamika hidup yang terus dinamis.

Demikian juga halnya berkenaan dengan Ekonomi Umat. Yang pasti, hingga saat ini, secara statistik umat Islam masih mengalami ketertinggalan di bidang ekonomi ini.

Hal tersebut hampir terjadi di semua sektor. Bahkan, dalam sebuah kesempatan, Pak Chairul Tanjung, Chairman CT Corp, mengungkapkan data, bahwa dengan populasi sekitar 87%, umat Islam, hanya mendapatkan porsi 12 persen.

Sedangkan di sektor finansial, market share Bank Syariah seolah berada pada zona “kutukan 5%”. Berbagai upaya sudah dilakukan, setiap waktu, tetapi masih belum beranjak dari prosentasi tersebut. Dari sini cukup menjelaskan, bahwa ada ketimpangan yang sangat tajam.

Jika di-breakdown secara rinci per-sektor, maka dari yang dua belas persen itu, bisa jadi akan didapati data yang semakin memprihatinkan. Sektor-sektor strategis, luput dari penguasaan umat Islam. Dus, prosentase terbesar akan di dominanasi oleh sektor informal.

Ketertinggalan secara ekonomi ini, nampaknya terus membesar. Artinya porsi ekonomi umat semakin mengecil. Bukan tidak tumbuh. Namun dengan besaran kue yang ada, dengan pertumbuhan sama, atau 2 kali lipat sekalipun, masih belum bisa mengejar.

Pertanyaannya adalah, apakah semua ini terjadi secara natural atau by design, nampaknya perlu penelitian lebih jauh. Meskipun secara kasat mata, sesungguhnya bisa dilihat.

Ketiadaan atau lebih tepatnya kurangnya affirmation politics misalnya, dengan melihat UU dan regulasi yang ada. Ketimpangan saat ini, terjadi bisa dikatakan sebagai kombinasi sempurna antara natural dengan yang by design.

Secara natural, barangkali bisa kita amati dengan minimnya umat Islam yang fokus di bidang ekonomi ini. Sebagian didoktrin oleh orangtuanya, untuk menjadi pegawai. Baik pemerintah maupun swasta. Seolah jika sudah menjadi PNS atau karyawan swasta dengan berdasi, menempatkan dirinya menjadi priyayi.

Sebuah status sosial yang disematkan ke seseorang karena menduduki jabatan tertentu. Ini murni warisan kolonial. Bahkan tidak sedikit yang rela bekerja (maaf : menjadi buruh pabrik), di banding berwirausaha, atau mengolah tanah keluarganya sendiri.

Bukan sesuatu yang hina dan salah. Sebab kita tahu, jalan itu dipilih, karena tidak ada pilihan lain, bersebab terjadi kemiskinan struktural, karena kebijakan negara yang tidak pro-rakyat. Akibatnya disparitas antara si kaya dan si miskin menjadi menjomplang. Hal ini dapat kita lihat dari gini ratio negara ini, yang masih berada pada kisaran 0,4. Sebuah rasio yang mendekati bahaya. Dan anehnya seolah hal ini bukan persoalan.

Disisi lain, ternyata pemahaman umat berkenaan penguasaan ekonomi ini lemah atau lebih tepatnya tidak faham. Seolah yang namanya ibadah itu, hanya hal yang kaitannya dengan ritual semata. Bahkan direduksi, hanya kegiatan ritual semata atau sebatas melaksanakan rukun islam.

Sementara mendirikan pendidikan unggul, menciptakan politik yang bersih dan santun, membangun ekonomi yang adil, makmur dan sejahtera, dlsb, bukan bagian dari ibadah. Maka mindset dan paradigma seperti ini mesti diubah. Umat harus disadarkan tentang urgensi mewujudkan hal-hal tersebut. Di bidang ekonomi misalnya, mesti dimulai upaya yang serius dan sistematis.

Sehingga langkah strategis ini bisa di mulai dari Pesantren, sebab masih perlu ada penyadaran tentang hal ini. Misalnya dalam kajian fiqh, saat membahas babul miyah, bab wudhu, bab sholat, bab haji dlsb, selalu satu paket lengkap dengan contohnya, bahkan praktek oleh ustadz/Kyai.

Namun, saat membahas fiqh Muamalah terutama bab Al Buyu’ (jual-beli) misalnya, tentang Syirkah, Mudhorobah dlsb, selain tidak diberikan contoh, bahkan dilewati kajiannya. Meskipun generasi muda “Kids jaman Now” sudah banyak berubah mindsetnya untuk mulai memilih terjun menjadi entreprenur dan menjadi profesional di sektor ekonomi islam.

Demikian juga studi tentang ekonomi islam kini telah menjamur. Namun ketertinggalan yang ada selama ini, butuh waktu untuk mengejar apalagi bisa merebutnya.

Selanjutnya, mari kita tengok, apakah benar hal ini terjadi by design. Salah satunya adalah dengan menelaah beberapa produk hukum dan regulasi yang nampaknya belum berpihak, ke umat. Bandingkan misalnya dengan Malaysia melalui NEP (New Economic Program) yang di gagas dan di kembangkan saat PM Mahathir Muhammad berkuasa, dan dilanjutkankan hingga kini.

Mesti masih terjadi ketimpangan, namun jurangnya tidak terlalu jauh. Meski beberapa UU seperti Bank Syariah, UU Zakat, UU Wakaf dll, memberikan angin segar bagi umat. Tetapi undang-undang Minerba misalnya, adalah salah satu contoh, bagaimana akses umat untuk bermain disektor ini cukup sulit.

Belum lagi adanya praktik kong-kalikong dengan pejabat daerah yang mengeluarkan ijin/konsensi dengan imbalan tertentu. Sebuah praktik korupsi dan kolusi sempurna yang lazim terjadi. Terutama menjelang Pilkada, politik transaksional, melalui jual-beli ijin ini marak terjadi.

Tarbiyah Iqtishodiyah

Kita tidak bisa hanya mengutuk kondisi yang terjadi di atas. Sebuah praktek kapitalis liberal, memang sedang tumbuh subur di negeri ini. Dan sudah barang tentu, kondisi tersebut tidak akan berpihak ke umat. Karena secara ideologi pasti bertentangan.

Ekonomi Islam itu bukan kapitalis dan juga bukan sosialis. Tetapi baina huma (diantara keduanya). Kenyataan di atas, seharusnya menjadi trigger bagi setiap muslim untuk aware bahwa situasi seperti ini harus di hentikan. Selanjutnya, diupayakan untuk melahirkan kebangkitan sekaligus melakukan “perlawanan”.

Salah satu model perlawanan adalah dimulai dari pendidikan, dalam makna yang luas. Atau bisa dengan istilah Tarbiyah. Dimana Tarbiyah Iqtishodiyah (pendidikan ekonomi) ini, bukan hanya diajarkan disekolah formal.

Demikian halnya di bangku kuliah, yang seringkali tersandera oleh kurikulum, sehingga direduksi oleh pencapaian angka-angka, dan diukur dengan seberapa besar menghasilkan output atau outcome yang tersusun dengan rapi dan indah.

Namun, semestinya tarbiyah ini, justru di mulai dari masjid-masjid, pengajian, majelis taklim dan seterusnya. Demikian juga dikembangkan melalui Pesantren, Madrasah, Sekolah Islam hingga perguruan tinggi, dengan kurikulum yang di desain khusus.

Olehnya kehadiran Ustadz, Mubaligh, Kyai, Guru, Dosen juga mesti dibekali dengan ilmu tentang ekonomi secara komprehensif, sampai kepada menghasilkan umat yang faham atas kelemahan dan sekaligus sadar atas potensinya, lalu berhimpun dalam arus yang sama, berupa kebangkitan ekonomi umat.

Dan dari sini, mendorong umat untuk berta’awun dalam bentuk syirkah, mudharabah, murabahah, dlsb, di berbagai sektor ekonomi.

Memetakan Umat

Dari penjelasan di atas, sejatinya banyak peran yang bisa dilakukan umat. Dalam Tarbiyah Iqtishodiyah ini. Paling tidak umat bisa diarahkan untuk berperan di banyak hal. Setidaknya perannya dapat dipetakan sebagai berikut:

Pertama Konsumen, langkah yang memungkinkan adalah umat diajari untuk menjadi konsumen yang cerdas. Yaitu, dengan memilih produk muslim. Dan menghindari untuk beli produk-produk non muslim.

Demikian juga dalam berbelanja, agar memilih warung, ritel dan supermarket serta toko-toko yang jelas-jelas milik muslim. Ini bukan SARA, tetapi ini bentuk keberpihakan.

Kedua Produsen, harus di pahami tingkat ketergantungan umat atas produk-produk yang ada dipasaran adalah produk non muslim. Bahkan 70 persen lebih produk yang dijual di retail, termasuk milik muslim, merupakan produk non muslim.

Olehnya umat sudah harus mulai memproduksi sendiri untuk konsumen muslim. Awalnya sebagai komplementer, dan hanya untuk memenuhi kebutuhan komunitas. Tetapi ke depan, harus ada roadmaps menuju suplementer. Dan hal Ini, harus inline dengan konsumen muslim.

Ketiga Pedagang, kehadiran pedagang baik yang tradisional maupun retail modern, menjadi strategi yang perlu dimainkan. Sebagaimana kita lihat, bahwa pedagang, terutama retail modern, meski kini umat sudah mulai bangkit, tetapi masih tertinggal jauh dari ritel modern yang dimiliki oleh aseng dan asing.

Olehnya perlu diperbanyak pedagang yang bermain disektor ini. Dan bisa dimulai dengan sistem klaster berbasis pesantren, masjid atau majelis taklim, sehingga mendapatkan captive market yang jelas.

Keempat Distributor, saat ini distribusi kebutuhan pokok, juga tidak berada ditangan umat. Sehingga konsumen susah memilih barang muslim, produsen sulit memasarkan barang, dan pedagang tidak bisa mendapatkan barang yang diinginkan. Sehingga rantai distribusi ini, harus dipegang oleh muslim. Jika tidak, akan terulang terus seperti lingkaran setan.

Kelima Investor, umat perlu diubah mindsetnya. Bahwa setiap rejeki yang di dapat, tidak cukup untuk ditabung, namun perlu di investasikan.

Berapapun dana yang dimiliki, sebaiknya ada yang disisihkan untuk investasi dengan pola musyarokah, Mudhorobah, Murabahah dan lain sebagainya. Dan dapat diinvestasikan kepada produsen, pedagang dan distributor.

Rangkaian langkah tersebut di atas, merupakan upaya minimal yang bisa dilakukan oleh umat, untuk merebut kue ekonomi yang ada. Memang tidak sesederhana itu. Namun jika langkah inipun tidak kita lakukan, maka kesenjangan ekonomi akan semakin melebar, bahkan bisa jadi tak terkendali.

Hal ini mesti menjadi kesadaran kolektif bagi umat. Lalu mengambil peran sesuai kapasitas dan kompetensinya masing-masing. Sehingga kita punya target, sekian tahun kedepan umat islam yang menjadi tuan di negeri sendiri. Bukan menjadi budak. Sesuatu yang realistis.

Dan, sekali lagi ini bukan SARA, tetapi wujud keberpihakan. Hanya butuh kemauan, niat baik dan aksi. Semoga Allah SWT memudahkan. Wallahu a’lam.

___
ASIH SUBAGYO, penulis Ketua Bidang Perekonomian DPP Hidayatullah. Tulisan terakhir tahun 2017 ini ditulis ketika penulis melakukan perjalanan menuju NTB dalam acara Rakernas III Hidayatullah.

Postingan Terkait

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *