Menekuni Pendidikan dari Allah agar Kita Terhindar dari Kejahiliyahan



KITA hidup di zaman di mana meniti jenjang pendidikan adalah suatu kelaziman, bahkan merupakan kewajiban dan hak yang dijamin undang-undang. Berbagai paket bantuan dan beasiswa dikucurkan untuk memastikan lebih banyak generasi muda yang bisa belajar dan membekali diri menyongsong masa depan.

Gagasan ini sangat tepat mengingat mereka adalah calon pemimpin dan anggota masyarakat di masa mendatang. Kualitas bangsa kita esok hari sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan mereka sekarang.

Namun, tersisa satu pertanyaan kritis: “Pendidikan seperti apakah yang kita berikan kepada mereka?”

Pertanyaan tersebut mengemuka di tengah realitas memprihatinkan yang sudah sama-sama kita ketahui. Media massa dipadati berita-berita tawuran pelajar dan mahasiswa, bentrokan antar kampung dan kelompok masyarakat, korupsi dan intrik kotor di tingkat elit politik, juga eskalasi kejahatan yang terus tumbuh.

Jika kita berkaca kepada sejarah, sebagian situasi yang kita alami sekarang mirip dengan Zaman Jahiliyah, atau terindikasi kuat sedang menuju ke sana. Walaupun Jahiliyah Umum sudah lenyap dengan sempurnanya Risalah Islam, tetapi masih terdapat sisa-sisa wataknya dalam skala tertentu.

Benarkah demikian? Ya, karena sebetulnya istilah “jahiliyah” memiliki dua lawan kata.

Pertama, al-jahlu – yaitu: akar kata jahiliyah – adalah kebalikan dari al-‘ilmu, artinya pengetahuan. Ciri utama jahiliyah jenis ini adalah keterbelakangan peradaban, buta huruf, hidup berpindah-pindah, dan sejenisnya.

Kedua, lawan kata lain dari al-jahlu adalah al-hilmu, artinya kesantunan, kendali diri, dan akal sehat. Fenomena umum jahiliyah jenis kedua adalah ketiadaan moral, agama yang rusak, kekacauan masyarakat, dan berlakunya hukum rimba.

Pengertian kedua ini memberi kita suatu wawasan baru, bahwa jahiliyah sebenarnya bukan watak zaman tertentu, dalam hal ini era sebelum diturunkannya Al-Qur’an. Jahiliyah lebih merupakan gambaran karakter orang-orang yang hidup di dalamnya. Kesimpulan ini diperkuat oleh catatan Siroh Nabawiyah yang justru menggambarkan zaman jahilyah dengan maraknya perbudakan, pelacuran, miras, perampokan, ketimpangan distribusi kesejahteraan, penyembahan berhala, penguburan anak perempuan hidup-hidup, penindasan pihak yang kuat atas kaum lemah, dst.

Dengan kata lain, manakala fenomena yang mendominasi periode tersebut terulang kembali di zaman mana pun, maka sesungguhnya kita sedang menyaksikan sisi lain dari kejahiliyahan, walaupun – bisa jadi – ilmu pengetahuan telah berkembang pesat. Dari sudut pandang ini, peradaban-peradaban raksasa yang musyrik seperti Mesir Kuno, Yunani Kuno, Babilonia, Persia, Romawi, dan seluruh fotokopinya di dunia modern sekarang, pada kenyataannya adalah peradaban jahiliyah.

Dalam situasi seperti itulah kehadiran seorang Nabi mutlak diperlukan. Diutusnya Nabi Ibrahim ke Babilonia, Nabi Musa ke Mesir, Nabi ‘Isa di zaman Romawi, dan Nabi Muhammad di akhir zaman adalah bagian dari misi pencerahan atas kejahiliyahan yang mendominasi dunia di masanya masing-masing.

Kebangkitan mereka memiliki satu misi yang jelas, yakni mengembalikan umat manusia ke jalan yang benar, agar eksistensi mereka membuahkan kebaikan bagi alam semesta, bukan justru merusaknya. Allah berfirman,

“Dia-lah (Allah) yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah). Padahal sungguh mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Qs. al-Jumu’ah: 2).

Ayat ini menegaskan bahwa tugas seorang Rasul adalah membacakan ayat-ayat Allah, mensucikan umatnya, serta mengajarkan Kitabullah dan Hikmah. Saat ini, ketika kenabian telah tertutup, maka tugas tersebut berpindah ke pundak para ulama’, guru, dan orangtua. Inilah pendidikan yang sebenarnya, yang akan memperbaiki manusia dan menyemai kebaikan-kebaikan.

Alhasil, jika seseorang atau sebuah generasi tidak memahami ayat-ayat Allah, tidak tersucikan jiwanya, serta terjauh dari Al-Qur’an dan Sunnah, maka sebenarnya mereka belum terdidik; atau meminjam istilah Al-Qur’an: “mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata (lafi dhalalin mubin),” biar pun telah terlepas dari buta huruf dan sangat melek sains & teknologi!

Dalam konteks senada, Ibnu Syihab az-Zuhri (w. 125 H) pernah berkata, “Sesungguhnya ilmu ini (yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah) adalah pendidikan dari Allah (adabullah) yang dengannya Allah mendidik Nabi-Nya, dan dengannya pula beliau mendidik umatnya. Ia adalah amanah Allah (amanatullah) kepada Rasul-Nya agar ditunaikan kepada yang seharusnya menerimanya. Maka, barangsiapa yang mendengar suatu ilmu hendaklah ia menjadikan ilmu itu di depannya sebagai hujjah antara dirinya dengan Allah ta’ala.” (Riwayat al-Khathib dalam Al-Jami’, no. 7).

Bila kita kembali kepada pertanyaan di awal tulisan ini, tampaknya kita harus menata ulang elemen-elemen kunci sistem pendidikan kita. “Pembacaan ayat-ayat Allah” berarti seluruh proses dan materi pendidikan harus diarahkan untuk menyadari peran Allah di balik fenomena apa pun di alam semesta, yang melahirkan kekhusyu’an dan ketundukan.

“Pensucian jiwa” menuntut berpusatnya pendidikan di masjid, sebab tidak ada cara terbaik membersihkan jiwa kecuali dengan mendekatkan manusia kepada Allah melalui ibadah. Lalu, “pengajaran Al-Qur’an dan Sunnah” mengharuskan bukan hanya pelafalan dan keindahan suara, tetapi bagaimana ia diamalkan dan diteladankan dalam kehidupan.

Pendidikan Allah ini sudah terbukti memperbaiki kerusakan bangsa Arab di zaman Nabi, dan semestinya pula untuk zaman dan bangsa kita, sebab Risalah beliau ditujukan untuk seluruh generasi di belakang beliau hingga tibanya Hari Kiamat. Wallahu a’lam.

Ust. M. Alimin Mukhtar

Postingan Terkait

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *