Hanya karena Kebaikan Allah Semata
BILA dengan uang seribu rupiah Anda mendatangi showroom Mercedes Benz untuk membelinya, mungkinkah? Jika kemudian hanya dengan uang itu Anda bisa membawa pulang mobil mewah secara tunai, tanpa hutang atau kredit, apa sebenarnya yang terjadi?
Meski ada beberapa alternatif jawaban, tapi bila kita kesampingkan seluruh kemungkinan perbuatan kriminal, penipuan, dan ketidakwarasan, maka tersisa satu pilihan saja: “hanya karena kebaikan pemiliknya”.
Begitulah keadaan kita yang sebenarnya ketika berhadapan dengan Allah dan mengharap surga-Nya. Kita menghadap Allah dengan membawa amal yang cacat di sana-sini, namun memanggul segunung harapan akan pembalasan yang maha sempurna.
Mari meneliti shalat-shalat kita, kapankah yang khusyu’? Seberapa banyak kita sungguh-sungguh beristighfar memohon ampunan atas aneka kesalahan dan kelalaian? Setingkat apa kita bertahmid memuji keagungan Allah dan mensyukuri karunia-Nya? Seserius apa kita bertahlil mengesakan Allah dan membersihkan-Nya dari segala sekutu?
Sebenarnyalah, bahkan amal kita yang paling serius sekali pun, tidaklah sepadan dengan surga-Nya. Mengapa demikian? Sebab, untuk bisa beramal kita bergantung kepada sekian banyak karunia Allah yang lain.
Untuk mengucap hamdalah kita membutuhkan lisan, dan lisan adalah karunia-Nya. Untuk mengerjakan shalat kita harus bersuci dengan air, sedangkan air adalah karunia-Nya. Untuk menunaikan Zakat Maal kita tidak perlu menciptakan sendiri sapi, kambing atau unta; tapi sekedar menyalurkannya kepada hamba-hamba Allah yang lain.
Jika saja lisan kita dicabut, atau air dimusnahkan, atau hewan-hewan ternak dilenyapkan, atau semua karunia-Nya ditiadakan, dengan apa kita mematuhi-Nya?
Sungguh, bila ibadah-ibadah kita hanya bisa terlaksana berkat karunia-Nya juga, bukankah sangat mengagumkan jika Allah masih membalasnya dengan berlipat ganda?
Jika untuk mensyukuri salah satu kenikmatan dari Allah kita memerlukan kenikmatan lain yang juga Dia anugerahkan, bukankah sangat menakjubkan jika kita masih diberi ganjaran berlimpah? Bahkan, bukankah seluruh diri kita adalah pemberian-Nya?
Oleh karenanya, sangat tepat jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berusahalah untuk tepat dan mendekati (amal terbaik), dan bergembiralah! Sungguh, tidak seorang pun yang dibuat masuk surga oleh amalnya.” Para Sahabat bertanya, “Tidak juga Anda, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak juga saya, kecuali jika Allah melimpahi saya dengan rahmat-Nya. Beramallah kalian, karena sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah yang paling kontinyu, meskipun hanya sedikit.” (Riwayat Muslim, dari ‘Aisyah).
Pada permulaan kitab ar-Risalah, Imam Syafi’i (w. 204 H) berkata, “Segala puji bagi Allah, (Dzat) yang tidak bisa ditunaikan kesyukuran atas salah satu nikmat-Nya melainkan dengan menggunakan nikmat-Nya yang lain, yang kemudian mengharuskan orang yang berbuat demikian itu untuk bersyukur lagi.”
Sariy as-Saqathi (w. 251 H) juga berkata, “Bersyukur itu nikmat (dari Allah), dan mensyukuri nikmat itu juga merupakan nikmat, demikianlah seterusnya syukur itu tidak akan pernah sampai ke dasarnya.” (Mukhtashar Syu’abul Iman, hal. 66)
Seorang penyair hikmah, Mahmud al-Warraq (w. 225 H) pernah menyenandungkan syair: “Jika syukurku atas satu nikmat Allah juga merupakan satu nikmat, maka dalam hal seperti ini seharusnya aku bersyukur pula. Mana mungkin syukur bisa dilakukan, kecuali dengan (menggunakan) karunia-Nya pula, meskipun masa dipanjangkan dan usia sambung-menyambung? Jika (seseorang) ditimpa dengan kegembiraan maka kegembiraannya meliputi segalanya; namun jika dia ditimpa kemalangan maka hal itu diiringi dengan pahala. Pada kedua keadaan itu, selalu ada karunia dari-Nya, sehingga seluruh angkasa, daratan, maupun lautan tidak akan mampu menampungnya.” (Mukhtashar Syu’abul Iman, hal. 67)
Bila direnungkan, sepertinya seluruh ibadah di sepanjang usia kita tidak akan sepadan ditukar dengan salah satu karunia-Nya, terlebih-lebih lagi bila masih ditambah dengan kenikmatan surga. Betapa mahalnya karunia pendengaran, penglihatan, dan akal sehat! Betapa berharganya nikmat kehidupan yang Dia anugerahkan! Betapa agungnya nilai iman yang Dia berikan!
Sekarang, kita baru mengerti mengapa Allah berfirman dalam Al-Qur’an: “Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34)
Terkait ayat ini, Ibnul Anbari mengatakan, “(Allah telah memberi kalian) segala sesuatu yang kalian minta maupun tidak. Sebab kalian tidak pernah meminta matahari, bulan, dan sebagian besar nikmat lainnya yang sudah Dia berikan kepada kalian sejak semula.” (Tafsir Zadul Masir, II/514)
Benar. Betapa untuk memastikan kita bisa hidup nyaman di dunia ini, Allah telah menyiapkan segala sesuatu tanpa kita memintanya, bahkan banyak diantaranya yang tidak kita sadari.
Perhatian Allah kepada manusia sungguh amat-sangat luar biasa, sehingga bila manusia beribadah tanpa dibalas surga pun sebetulnya Allah tidak zhalim. Bahkan, seluruh keseriusan ibadah mereka tidak akan setara dengan sebagian kecil dari karunia dan perhatian-Nya.
Hanya saja, semata-mata karena kebaikan-Nya pulalah Allah memerintahkan kita beribadah lalu Dia membalasnya dengan surga. Padahal, sebelum perintah-Nya datang segala karunia-Nya telah mengalir tak terhitung.
Kita berutang teramat banyak kepada Allah. Tapi, lagi-lagi karena kebaikan-Nya maka kita tidak ditagih dengan harga yang sepadan.
Allah tahu, kita tidak akan sanggup membayar-Nya. Jadi, jangan merasa surga itu diberikan karena amal kita, tapi semata-mata karena kebaikan-Nya. Wallahu a’lam.
Ust Alimin Mukhtar